Namun, awan kelabu itu mulai menggelayuti langit biru, justru saat kami hampir mencapai rumah/kosan. Tak ada lagi suaranya setelah jari jemari itu lincah menari di keypad smart phone nya. Kulirik dengan ekor mataku, dan mendung itu terlihat nyata. Apa gerangan yang terjadi?
"Kenapa sayang? Kok tiba-tiba jadi diem? Tadi masih riang malah becanda dengan odot?" Usikku, mencoba memancing cerianya. Dua boneka baru berbentuk domba garut yang diberinya nama Choco dan Odot, terlihat nyaman dalam pelukannya.
"Mi, Dila kecewa! Teman Dila payah!" Keras nadanya dalam kecewa.
"Lho, payah gimana? Teman yang mana, Nak? Coba cerita." Pintaku.
"Iya, dia downline Dila. Barusan dia bilang dia mau mundur aja. Ga mau lagi terusin bisnis kami! Dila kecewa kali sama dia. Padahal sebelum kesini, kami udah bikin strategic planning untuk maju bersama dalam bisnis ini." Terdengar suara itu berlomba antara dongkol dan kecewa. Aku paham benar situasinya. Jelas Intan sangat kecewa, karena tadi malam dia begitu bahagia sharing tentang bisnis dan dowline-nya yang sevisi dengannya. Yang sama-sama bersemangat dalam menggapai impian mereka.
Ya, ternyata, walau sibuk dengan urusan sekolahnya, putriku sedang serius mengembangkan bisnis yang sedang digelutinya. Bahkan sempat membuatku takjub karena putri tercinta yang mandiri ini, sudah mulai memiliki penghasilan sendiri setiap bulannya. Juga sempat membuatku terharu, karena sempat memintaku untuk tidak lagi mengirimnya biaya sekolah, karena dia sudah mulai mampu mengcovernya dari hasil bisnisnya itu. Ya ampun, sayang! Umi bangga padamu, Umi sungguh terharu, tapi biarkan Umi tetap menunaikan tanggung jawab Umi, membesarkan, mengasuh dan menyekolahkanmu, itu adalah tanggung jawab Umi. Uang Intan, silahkan ditabung ya, sayang. Nanti, jika memang kita terdesak, uang itu yang akan menolong kita, ok sayang?
Kembali pada mendung yang menggelayuti langit biru putri tercinta, aku menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. Aku sungguh dapat merasakan betapa kecewa hatinya, mendapati kenyataan ini. Jika menurutkan kata hati sih, situasi ini hampir seperti teman yang menusuk dari belakang. Namun apakah demikian? Tidak. Tentu tidak demikian, walau Intan sedang merasakan seperti itu. Ini yang harus segera dibenahi. Putriku butuh input dan bantuan pencerahan mindset!
"Sayang, Umi mengerti banget situasi ini. Umi paham jika Dila jadi begitu down mendengar kabar ini. Tapi...," Kuhentikan sejenak, tetap mengemudi namun tangan kiriku meraih tangan kanannya. Menggenggamnya lembut, mencoba mengalirkan ketenangan.
"Tapi, kita harus paham, bahwa tidak semua manusia dibekali dengan semangat juang yang sama. Tidak semua manusia dianugerahi daya tahan yang sama besar, kala menghadapi cobaan. Dan yang paling penting untuk dipahami, setiap manusia itu memiliki passionnya masing-masing." Kuhentikan lagi bicaraku, membiarkan putriku mencerna perkataanku. Namun dirinya masih diam, mendengarkan dan menanti lanjutanku. Masih dalam keadaan mengemudi, kusuntikkan sugesti-sugesti semangat dan pemahaman baginya.
"Dila paham kan bahwa bisnis multi level marketing, adalah bukan bisnis biasa. Ini adalah bisnis luar biasa. Apanya yang luar biasa? Semuanya. Ya cara mengembangkannya, cara membina jaringan, cara memahami dan bagaimana melakukan sepak terjangnya, bagaimana mempertahankan semangat di kala kita jatuh, dan lain sebagainya, yang tidak bisa dilakukan dengan cara biasa-biasa saja." Kuhentikan lagi bicaraku.
Intan masih diam, namun jemarinya meremas-remas jemariku.
"Ya, nak. Tidak semua orang sanggup menjalankan bisnis luar biasa ini. Tidak semua orang punya kesabaran dalam membesarkan bisnis ini. Contohnya adalah sahabat Dila, downline Dila. Kita harus memahami, bahwa, ternyata, dia tidak punya daya juang yang cukup besar untuk bergerak di bidang ini. Ternyata, passionnya bukanlah di bidang ini. Jika passionnya adalah di sini, maka dia akan berjuang sekuat tenaga untuk tidak menyerah. Tapi ternyata? Dia malah mengundurkan diri. Artinya? Dia tidak memiliki daya juang prima untuk berkembang di sini. Dia tidak dibekali semangat untuk tetap fighting bersama Dila dalam menggapai impian kalian." Jeda sejenak, lalu kulanjutkan.
"Lalu, apakah Dila berhak untuk marah karena downline Dila mengundurkan diri? Tidak, Nak. Kita tidak boleh bersikap seperti itu. Kita harus bisa menghargai setiap keputusan orang lain, termasuk keputusan downline kita, yang sebenarnya bikin kita kecewa. Kita ga boleh marah, ga boleh membencinya. Justru Dila harus mencoba menghargainya, dan memahami, bahwa ternyata, dia mendapati dirinya tidak akan mampu berkembang di bidang ini. Dan sebagai upline yang baik, Dila harus menghargainya, dan rela melepasnya. Mengapa harus rela? Karena dengan rela dan ikhlas, kita tidak akan sakit hati, dan yakin deh, itu akan membuat langkah Dila lebih ringan dalam mendapatkan downline pengganti. Jadi, tetap harus...?"
Kugantung kalimatku agar disambung olehnya. Karena aku tau persis bahwa Intanku paham apa lanjutan kalimat yang aku inginkan.
"Positive thinking! Tapi sulit, Mi. Dila kesulitan dalam memprospek orang. Sulit meyakinkan orang lain untuk join di bisnis ini." Lirih suaranya.
"Nah, disitulah gunanya Upline Dila. Adalah tugasnya membantu downlinenya yang sedang jatuh. Termasuk dalam membantu prospekin calon downline Dila nantinya. Bukankah bisnis MLM itu adalah bisnis yang mengandalkan teamwork? Seorang upline tidak akan sukses jika dia cuek terhadap downlinenya, apalagi jika dia tidak mensupport downlinenya. Karena apa? Karena sukses tidaknya bisnis ini adalah berdasarkan kerjasama team. Jadi ibaratnya sebuah project nih, Nak. Gambarannya gini; upline adalah project coordinator, lalu downline nya adalah para staff project. Yang harus bekerja sama sesuai tugasnya masing-masing agar project dapat berjalan dengan baik. Can you get the point, sayang?"
Dan putri tercinta itu mengangguk, tapi masih terlihat keraguan bergayut di sana. Kuhentikan laju Gliv karena kami telah tiba di depan pintu pagar rumah. Kami masih berdiam diri di dalam mobil. Ingin kuselesaikan semua di sini, ingin kuusir mendung itu agar tak perlu ikut masuk ke kamar nantinya.
"Percaya deh, Nak. Ceritalah akan hal ini pada upline Dila, Umi yakin, dia akan mensupport Dila. Akan memberikan masukan-masukan dan pencerahan, dan bantuan agar Dila bisa bangkit dan semangat lagi. Apa perlu Umi yang bicara padanya?" Kuakhiri dengan senyum.
Gelengan kuat adalah refleks langsung darinya.
"Hehe, jangan donk, Mi. Dila bisa kok mengatasinya. Makasih ya, Mi. You are always the best! Ga kebayang kalo kabar ini Dila dapat saat Dila udah balik ke Banda. Mau ngadu ke siapa? Bisa ke Umi, tapi lewat BB, jadi ga bisa meluk Umi. Mom, so glad to have you here, as my Mom, and my best friend!" Dan sebuah pelukan erat merapat ke tubuhku. Kubalas dengan pelukan hangat seraya mencium pipi dan ubun-ubunnya.
"Btw, kita mau tidur di depan pintu pagar apa masuk ke dalam nih, sayang? Apa kita coba rasakan gimana rasanya bermalam di mobil? Hehe."
"Haha, Umi ada-ada aja!" Dan Intan langsung membuka pintu mobil, turun, membuka pintu pagar dan memandu aku parkir. Ya Allah, lindungi putri hamba, tetapkan semangat dan keceriaannya, ya Allah. Mudahkan jalannya. Aamiin.
Dan senyum itu mulai tersungging. Apalagi dengan kehadiran pendatang baru, Choco [boneka domba garut milikku] dan Odot [boneka domba garut milik Intan] Souvenir dari Chocodot. |
sebuah catatan tentang permata hati,
Al, Bandung, 17 Juli 2013
akhirnya Intan bisa berfoto diantara kebun teh ...*komen foto aja ya ..
BalasHapuskalo soal sifat Intan sih, percaya deh .. siapa dulu Uminya ;)
Akhirnya.... hehe, ternyata kebun teh itu begitu indahnya ya, Tante Dey? :D
HapusSelalu nasehat bijak diberikan umi pada anandanya.
BalasHapusBelajar selalu dari mbak Al.
Mencoba jadi ibu terbaik bagi Intan, Mbak. :) Yuk sama2 belajar yuk.
HapusIntan keren. Sukses ya, Nak. :)
BalasHapusTrimakasih, Tante Haya. :)
HapusMbak Al, aku itu lebay dan itu sudah jelas hehehe..Membaca hubunganmu dengan Intan, aku pengen nangis membacanya. Selamat ya Intan punya Umi yg bisa memahamimu dan yang akan mensupportmu sampai titik darah terakhir :)
BalasHapusHehe, makasih atas kunjungan dan komentarnya, V. Mencoba menjadi ibu sekaligus juga sahabat yg baik bagi Intan. :)
Hapusberuntung sekali intan punya umi seperti mbak Al.
BalasHapusSaya jg pernah ikut bisnis MLM tp mundur di tengah jalan karna susah cari downline hikz
semangat terus ya intan
ih Intan ni dah pinter bisnisan aja hewhew...
BalasHapusbisnis kaya gitu kalo gak beneran niat ya jd payah...
tetep semangat ya Intan... :D
intan....berbahagialah memiliki um yang begiiiituuu luar biasa...
BalasHapusmbak al,,,aku salut sama mbak al. bisa memposisikan diri sebagai ibu, temen curhat,kakak,,pokoknya paket lengkap deh buat intan..
so, i proud of you sista!!!!
intan!!!!kau keren dek......
Anak & umminya sama keren dehh.. Mantaabbs!! Moga2 Nadia kl udh gede sepinter kak Intan :-)
BalasHapusSelamat menunggu waktu berbuka puasa mbak..
BalasHapusIntan beruntung punya Umi yang baik dan pengertian ya?
BalasHapusBerkat dorongan dan dukungan Umi pasti Intan akan maju terus meraih sukses.
Semangat ya Intan... :)
mb Al umi yg sabar & bijak.. tetap semangat yaa intan ( semyum intan manis sekali :) )
BalasHapus