|
Credit and added with the words. |
Ini adalah kali kedua kami bertiga bertemu kembali, setelah sekian lama saling 'bermusuhan'. Reunian. Itulah tema yang pas untuk momen ini. Kulihat mata putriku begitu berbinar. Senyum dan senandung cerianya tiada henti sejak kuiyakan ajakannya untuk tak hanya mengantarnya kepada dia, tapi juga bersedia bergabung dan jalan bareng dengan mereka.
Dulu, hal ini sangat sulit untuk kulakukan. Dan kuyakin, juga sulit baginya untuk melakukan hal yang sama. Betapa pun, persahabatan yang diakhiri dengan cinta, pasti akan indah dan membahagiakan. Namun sebaliknya, tak ada yang berani menjamin bahwa sebuah cinta yang berakhir/diakhiri, mampu bermuara pada persahabatan. Apalagi jika pihak perempuan yang menggugat dan memisahkan diri. Setidaknya, akan butuh WAKTU untuk memproses terwujudnya persahabatan kembali.
"Mi, makasih ya, Mi, udah mau nganterin dan ikutan bertemu Ayah. Dila bahagia banget!" Diciumnya pipiku lembut, dan kembali duduk manis di kursinya, membiarkan aku mengemudi dengan tenang.
"Iya sayang. Apa sih yang enggak untuk anak Umi?" Jawabku ceria. Mencoba mengukir senyuman di bibir putri tercinta.
"Hehe, makasih Umiku sayang. Mi, kalo Papa tahu, bakalan marah dan cemburu enggak tuh mengetahui Umi ketemuan sama Ayah?" Tanyanya, antara serius dan menggoda.
"Ya enggaklah, Nak. Kan papa tahu kalo kita mau ketemuan sama Ayah. Papa tuh tau kalo Umi hanya cinta sama Papa. :)"
"Hehe. Emang Umi beneran cinta sama Papa? Sama Ayah masih cinta enggak, Mi?" Tanyanya menggoda.
"Iya donk, masak Umi cintanya sama si Man? Ya sama Papalah. " Selorohkku yang langsung disambut ngakak oleh Intan. Si Man adalah orang sakit jiwa yang sering melintas di depan rumah kami di Banda Aceh.
"Kalo sama Ayah? Masih cinta engak, Mi?" Ulangnya lagi.
"Ya enggak donk sayang. Kan Dila tau Umi paling enggak suka sama Ayah, tapi Alhamdulillah, sekarang ini Umi udah bisa deh kayaknya sahabatan sama Ayah." Jawabku jujur. Kulihat senyum terkembang di bibir putri tercinta.
Gliv melaju kencang, melintasi tol Cileunyi menuju exit gate Buah Batu. Rencananya kami akan bertemu dengan ayahnya Intan di exit gate ini, lalu Ayah Intan akan menitipkan mobilnya di sana dan bergabung dengan kami. Benar saja, sebuah VW Merah sudah parkir rapi tak jauh dari exit gate. Dan langsung mendekati kami begitu mengetahui mobil yang kami kendarai. Kuhentikan laju Gliv, parkir dengan baik sembari menanti ayahnya Intan mendekat.
Intan menyalami ayahnya dengan santun. Lalu kami saling bersalaman dan bicara sejenak. Layaknya sahabat. Tak kutemukan lagi dendam di antara kami. Subhanallah. Sejenak, mobilku sudah mengikuti mobilnya, menuju apartemennya, untuk menyimpan mobilnya dan dia akan ikut dengan mobilku. Ada rasa happy di hatiku melihat kehidupannya kini mulai teratur. Tidak lagi amburadul seperti sebelumnya, yang sering di'lapor'kan oleh kakak-kakaknya padaku. Yup, walau telah lama berpisah, namun hubunganku dengan mantan kakak-kakak ipar masih seakrab dulu. Masih sering mereka meng-update info tentang ayah Intan dan kelakuannya yang meresahkan. Namun kini, aku bisa menilai, banyak kemajuan yang telah dia lakukan dan capai. Alhamdulillah.
Berkendara bertiga, bercanda tawa seperti ini, sungguh membawaku kembali ke beberapa tahun di masa silam. Saat kami masih dipersatukan di dalam ikatan mahligai perkawinan. Saat kami masih saling mencinta dan menyayangi. Aku sendiri tak tahu, rasa apa ini yang tiba-tiba mengalir sendu. Tawa kami berderai, tapi menatapnya, ada rasa sedih yang tiba-tiba menyayat hati. Sungguh, deeply in my heart, ku berdoa agar engkau juga beroleh bahagia. Kenapa masih menutup diri? Kenapa masih belum serius menentukan wanita mana yang akan dengan serius engkau nikahi? L Taukah kamu? Rasa benci itu telah pupus. Ku berhasil mengikisnya. Adakah hal yang sama juga merajai hatimu kini? Akankah kita bersahabat baik? Can we?
Obrolan kocak dan derai tawa yang membahana, sungguh sukses menebar aura positif di antara kami. Perlahan tapi pasti, dia mulai bercerita tentang kehidupan dan rasa optimisnya kini, tuk jalani kehidupan yang lebih baik. Alhamdulillah. Kulihat putri kami juga tersenyum bahagia. Sebuah message masuk di BBku dari ananda yang duduk di kursi belakang.
Mi, kasih masukan ke ayah agar hemat dan bekerja dengan baik. Agar ga merokok lagi.
Kubalas dengan jempol, disambut senyum manis berupa icon smile. Tentu aku tak segampang itu masuk ke kehidupan pribadinya. Harus lihat momen donk, Nak. Namun, sepertinya, dia kembali menjadikanku sebagai tempat curhatnya, seperti dulu, kala aku masih berstatus istrinya. Tiga puluh menit perjalanan kami ke sebuah pabrik garmen [untuk belanja baju baru Intan], dihabiskannya dengan update informasi tentang pekerjaan yang membawanya ke Bandung ini. Tentang project yang ditangani dan dipercayakan padanya. Sudah gatal mulutku sebenarnya untuk menasehatinya, agar tak lagi seceroboh dulu. Agar kini, bisa lebih bertanggung jawab, dan bekerja dengan maksimal dan hati-hati. Namun kujaga mulutku agar tak melontarkan hal itu. Aku hanya mantan istri, dan tak punya hak untuk masuk ke kehidupannya. Namun entah kenapa, aku tak bisa mengunci mulutku. Hehe.
Rasanya sayang aja kalo dia terjerembab lagi, gara-gara lupa akan prioritas. I knew him well. I knew his weaknesses as well as his strength. Sayangnya, weaknesses-nya > strength. Itulah yang harus dibalik. Tercetus juga akhirnya nasehat-nasehat sok bijak dariku. Yang anehnya, sama sekali tidak membuatnya marah. Justru diterimanya dengan baik. Bahkan dengan serius dia berbagi info, meminta saran dan pendapat dariku tentang project dan rencana-rencananya ke depan. Bahkan saat memilih pakaian untuk dirinya sendiri, dia masih meminta aku pilihkan.
"Ini bagus enggak, Mi untuk Ayah? Cocok ga? Maklum Ayah ga punya istri nih, jadi ga tau harus tanya ke siapa." Sedih juga hatiku. Intan tak mendengar karena berada jauh di sana.
"Kurang bagus, coba yang ini. Ayah kan kulitnya gelap, jadi jangan yang gelap lagi dunk warnanya. Gimana sih? Masak lupa, kan dulu Umi sering bilang? Makanya, Ayah tuh cepat donk nikah lagi!"
"Hehe, mana tahu trendnya udah berubah, kulit gelap pake yang gelap biar keren, hehe. Ayah males kawin lagi. Susah nyari yang kayak Umi."
"Huuuu! Mulai deh! Lebay, Gombal! Jadi si Tari gimana? Kenapa sih Ayah pending-pending terus? Kalo emang ga jadi ya dikabarin, jangan dipending gitu anak orang. Kasian kan?"
"Ha? Tari? Aha, pasti Mbak ngadu sama Umi ya? Kurang asem mereka tuh!" Dan diraihnya hapenya. Oops! Gawat deh ini. Aku jadi ga enak deh ntar sama mantan kakak ipar. Gawat nih. Namun ternyata...
Dia malah tertawa-tawa dengan sang kakak di seberang sana. Malah memberikan hapenya kepadaku untuk ikutan bersilaturrahmi dengan si mbak, yang memang sudah sekian bulan ini tidak saling terhubung. Sapaan ramah mantan kakak iparku, menyejukkan hati. Sebuncah rasa kangen membludak di dada. Bagaimana pun, mereka adalah kakak-kakak yang hangat, kakak yang lebih dari delapan tahun menyayangi dan memberi kehangatan kasih bagiku selaku adik iparnya. Intan juga tak ketinggalan berkomunikasi dengan budhe-budhenya. Dan di penghujung pembicaraan, seperti biasa 'oleh-olehnya jangan lupa ya, nak. Minta Umi pilihkan untuk budhe.!" Hehe.
Gampang, aku akan membajak Ayahnya Intan donk untuk beli oleh-oleh bagi sang kakak. Gampangkan? Dan dia menangkap sinar itu dari mataku. Haha.
"Pasti oleh-oleh akan lari ke dompet Ayahkan?"
Aku dan Intan langsung ngakak.
Hari yang indah, tak terasa sehari penuh kebersamaan kami. Jalan-jalan mengelilingi kota Bandung, kuliner dan berbelanja keperluan Intan. Yes, kapan lagi, jarang-jarang kan Intan dibelanjain oleh Ayahnya. Semoga rezeki ayah mengalir lancar ya, Nak, jadi Ayah bisa menunjukkan tanggung jawabnya pada anaknya. Yuk kita doakan Ayah agar sehat selalu, dan lancar rezekinya. Aamiin. Oya, juga agar segera dapat jodoh yaaa. :)
Malam harinya, Intan tidur dengan pulas dengan senyuman yang kerap terukir indah, mimpi indahkah putri tercinta ini? Semoga saja. Dan paginya,....
"Mi, Makasih banget ya, Mi. Am so happy!"
"Lho, makasih apa, Nak? For what?"
"Untuk kebersamaan kita kemarin. Do you know, Mom? Dila rasanya rela mati deh tadi malam setelah kebersamaan kita. Rela mati karena kebahagiaan Dila udah sempurna." Dipeluknya aku, dan setitik air bening langsung menggenangi bola mataku. Haru.
"Tapi kalo sekarang, Dila engga ingin mati, Mi, inginnya kita sering-sering ketemu Ayah. Maunya kan, Mi, Ayah segera nikah, terus kita jalan-jalan berlima gitu. Dan Dila bisa dapat uang jajan dari Ayah, Mama, Umi dan Papa. Hehe."
"Huuu, dasar anak Umi mata duitan!" Dan sebelum kena cubitan, Intan sudah berlari ke kamar mandi.
sebuah catatan dalam perjalanan kehidupan,
Al, Bandung, 13 Juli 2013.