Tentunya, bagi para emak anggota Kumpulan Emak Blogger, euforia #DearDaughter and #DearSon, project menulis di blog berupa surat untuk anak perempuan mau pun anak lelaki kita, yang dicetuskan oleh Mak Indah Juli, sedang begitu semarak bergelora di dada, bukan begitu, Mak? Dan sungguh membuat kita begitu bergairah untuk dengan suka cita mengiyakan dan tulus ikhlas menuliskan tentang harta karun titipan Ilahi yang satu ini. Itu juga yang kini sedang membuncah di hatiku, exciting dan tak sabar rasanya untuk segera menuntaskan sebuah surat dari hati terdalam, yang sebenarnya memang sudah sekian lama duduk manis di dalam draft emailku, untuk pada saatnya nanti, akan meluncur mulus ke inbox email putri tercinta. Namun, menuliskan 'surat cinta' ini, terpaksa ditunda karena aku harus komit pada antrian list of article yang harus aku tuntaskan terlebih dahulu, hingga kemudian bisa sampai pada postingan yang full of spirit ini [#DearDaughter Project].
Alhamdulillah, postingan reportase perjalanan ke
Makam Ayatollah Khomeini published sudah, dan penuh rasa bahagia, kini duduk manislah aku menuntaskan surat cinta dari lubuk hati terdalam, untuk seorang gadis belia, amanah sang Kuasa, bernama Intan Faradila,
J
Tujuh belas tahun kebersamaan kami, jadi jangan heran jika surat ini pun menjadi demikian panjang dan seakan tiada akhir, ya, Sobs! Semoga tak bosan mengikuti paragraf demi paragrafnya J
Bandung, 7 September 2013
Sabtu, 22.00 Wib.
Dear Anak Umi, My Lovely Diamond
Surat ini, sebenarnya udah lama banget duduk manis di dalam draft email Umi. Sengaja Umi biarkan saja dulu, dengan niat akan Umi berikan padamu suatu saat nanti, saat Anak Umi siap meninggalkan Umi untuk lanjutkan sekolah dan gapai cita-cita.
Tapi pagi tadi, tantangan dari Tante Indah Juli, untuk bercerita tentang harta karun berupa anak perempuan yang Umi miliki, begitu menggelitik hati Umi agar menyempurnakan surat ini, dan membagikannya, bukan hanya kepadamu, tapi juga kepada siapa pun. Bukan, bukan untuk pamer, Nak, tapi Umi memandangnya sebagai suatu hal positif yang pantas untuk menginspirasi dan membangkitkan aura positif bagi other Moms & daughters. Semoga Anak Umi, ga keberatan dengan ide mempublikasikan surat yang sebenarnya hanya untuk kita berdua ini, ya, Nak. Bolehkan sayang? J
Anak Umi sayang,
Tak hendak Umi mengulang hal ini, bahwa menikahi ayahmu adalah sebuah pembangkangan tingkat tinggi yang pernah Umi lakukan terhadap Mami dan Abuchik. Menjadikan tindakan ini sebagai titik di mana Umi mendapat gelar 'anak durhaka' dan dikucilkan oleh ayah dan ibu Umi, yaitu Mami dan Abuchik-mu. Jika pun Umi hanya bisa tertawa sebagai jawaban pertanyaanmu yang kesekian kalinya 'kok bisa Umi menikah sama Ayah? Jangan-jangan Umi dipelet Ayah kali?', itu memang karena Umi tak tahu persis jawabannya, Nak. Yang pasti, saat itu, Umi dan Ayah memang saling cinta, dan nekad untuk tetap menikah walau Mami dan Abuchik tak merestui. "Love is Blind' ternyata benar-benar berlaku bagi Umi saat itu, Nak, dan semoga kamu bisa memetik pelajaran dari pengalaman Umi ini, agar kamu bisa melangkah dengan lebih baik di masa depan nanti, ya, Nak. J Untuk bertindak dengan lebih rasional dan tak hanya menurutkan ego dan perasaan hati tanpa analisa yang matang.
Menikah tanpa restu itu ternyata memang melahirkan banyak derita lho, Nak. Membuat rezeki seret! Tak hanya itu, kebahagiaan Umi serasa hanya seperempat! Bahagia memang, berada di samping ayahmu, yang begitu Umi cintai dan mencintai Umi, namun ruang kosong hati ini, begitu sukses memompa kesedihan dan menciptakan rasa kangen kepada Mami dan Abuchik di kampung halaman. Sayangnya, Mami dan Abuchik tidaklah seperti orang tua lainnya, yang begitu cepat luluh hatinya dan segera membuka pintu maaf atas kekeraskepalaan anaknya. Tadinya Umi berfikir, ah, paling juga nanti Mami dan Abuchik akan menerima Umi dan Ayah kembali, setelah beberapa waktu berjalan, atau di saat Umi dan Ayah memberi mereka cucu. Ternyata teori ini tidak berlaku bagi Umi! Umi, Ayah dan keluarga pihak Ayahmu, salah duga, hehe. Mami dan Abuchik bergeming, bahkan tak menggubris permohonan maaf dari kami. Sedih? Sudah pasti, Nak. Hancur rasanya hati Umi, apalagi saat lebaran tiba, tak bisa sungkem pada keduanya, adalah derita batin paling dasyat yang pernah Umi rasakan kehadirannya. L Bahkan saking kecewa dan 'marah' pada Allah, Umi pernah bertekad untuk tidak akan shalat Ied sebelum Mami dan Abuchik mengampuni dan menerima Umi kembali. Ih, sungguh sebuah tindakan stupid yang tak boleh ditiru ya, sayang!
Tapi Umi dan Ayah tidak putus asa. Masih ada satu harapan yang Umi gantung tinggi-tinggi selain semakin menyuburkan doa pada Allah agar membuka pintu hati Mami dan Abuchik. Harapan itu adalah, segera memiliki keturunan. Memberikan Mami dan Abuchik seorang cucu, sebagai 'kunci' pembuka pintu maaf itu. Alhamdulillah, sayang. Allah memang Maha Pengasih. Empat bulan setelah menikah, akhirnya engkau hadir di rahim Umi. Senangnya luar biasa, Nak. Umi bahagia sekali saat dokter mengatakan bahwa Umi positif hamil! Dan harus menjaga kandungan Umi dengan sebaik-baiknya. Yeaaay!! Umi hamil! Rasanya gimanaaaa gitu, Nak. Luar biasa.
Tau tidak, Nak? Sejak tau ada kehidupan lain di dalam rahim Umi, Umi jadi seperti si Jun [dalam film Jin dan Jun] lho! Umi sering banget bicara sendiri, padahal sebenarnya bukan bicara sendiri sih, tapi bicara kepadamu, yang berdiam di dalam rahim Umi. Hehe. Kamu ngerasa enggak sih, Nak, waktu Umi ajak ngobrol itu? Pasti ga tuh? J Memilikimu di rahim Umi, membuat Umi percaya akan kalimat bijak ini deh, Nak, "Anak adalah pembawa rezeki". Beneran ternyata, Nak. Kehadiranmu, serta merta membuka pintu rezeki juga bagi Umi. Bayangkan, disaat orang lain tidak diterima bekerja karena kondisinya yang hamil, Umi malah mendapatkan tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan ternama di kota Medan. Alhamdulillah. Kamu sungguh menciptakan taman bunga di hati Umi, Nak. Hati Umi yang tadinya kosong 3/4 nya, kini boleh dibilang semarak oleh semerbak bunga yang bermekaran di taman hati. You are amazing, Nak! Bahkan di saat dirimu masih berupa sebuah janin!
Kehidupan mulai terasa lebih benderang, walau terkadang temaram masih sering menghadang. Kita berdua tak hanya bagai sejoli yang saling mengisi, tapi adalah juga mitra kerja yang saling mendukung dan menyemangati. Sikapmu yang tak pernah rewel, yang begitu tenang di dalam kandungan Umi, sungguh sangat membantu Umi dalam beraktivitas sebagai pegawai baru di tempat kerja Umi yang baru. Kamu sungguh janin baik budi, ga pernah ngidam yang aneh-aneh. Kamu sungguh tau diri, sayang. Kehidupan kita saat itu masih sangat sulit. Walau posisi Umi saat itu adalah quality control engineer, tapi gaji Umi masih sangat standard dan pas-pasan. Begitu juga gaji ayahmu, sehingga kita harus sangat-sangat berhemat. Apalagi kami harus mempersiapkan segala keperluan dalam sambut kehadiranmu nanti, jadi memang penghematan dalam segala bidang adalah tindakan utama yang Umi terapkan kala itu.
Berhemat di dalam segala hal, tidak berarti bahwa Umi menekan dan membatasi keperluanmu lho, Nak. Umi tetap periksa kandungan Umi ke dokter setiap waktunya tiba. Umi tetap mempersiapkan yang terbaik untukmu. Ga lupa kan kalo Umi orangnya sangat kreatif? Hehe. Tak sanggup membeli perlengkapan baby yang mewah, tidaklah berarti kehadiranmu tanpa peralatan yang indah, Nak. Banyak ide yang menari di pikiran Umi, untuk hasilkan peralatan cantik dan menarik sambut kehadiranmu. Umi memang ga sanggup beli kasur, bantal dan kelambu yang exclusive, ga sanggup beli baby box yang cantik. Tapi Allah menganugerahkan Umi ide cemerlang dan kreativitas yang akhirnya menghadirkan perlengkapan bayi yang tak kalah menarik kan? Hehe, Umi gitu lho! :D
Exciting menanti kehadiranmu, membuat Umi seakan tak pernah merasa lelah. Pagi hingga sore Umi bekerja di kantor, dan malamnya Umi menjahit seprei, sarung bantal dan perlengkapanmu dengan tangan Umi sendiri. Bahkan saat itu Umi belajar merajut agar bisa rajut baju baby, sepatu dan kaos kaki untukmu lho. Menghias pernak-pernik mutiara di kelambu mu, hingga menjadi sebuah kelambu yang tak kalah exclusive, hingga membuat budhe-budhe mu menyangka Umi menghabiskan banyak rupiah untuk itu. Mereka bilang Umi kok boros banget, ga usahlah beli yang mahal-mahal kali, ditabung untuk keperluan lahiran nanti. Eits, mereka ga tau, Umi kan belinya murah banget, terus Umi hias sendiri. Ih, suuzon kali orang tu, ya, Nak? Huuuu. Sungguh terlalu! :D
Sang waktu seakan berlari. Bergulir demikian cepat hingga membuat kita tak ingin terlambat. Tak terasa, hitungan bulan ke sembilan telah genap dan membuat hubungan kita tak lagi rapat. Ya, saatnya kita harus 'berpisah'. Berpisah dari tubuh Umi karena engkau harus menjadi manusia sejati. Usai sudah tugas Umi menampung, merawat dan menjagamu di dalam kandungan. Sembilan bulan itu ternyata cepat sekali! Rasanya baru kemarin pak dokter menyatakan Umi hamil, eh sekarang kamu malah sudah harus keluar dari rahim Umi. Huft. Takut? Begitulah, Nak. Umi takut.
Sungguh, walau orang bilang melahirkan itu adalah kodrat wanita. Tapi Umi tetap merasa takut untuk menghadapinya. Umi takut dan was-was akan proses kelahiranmu, Nak. Apalagi saat-saat sebulan pemeriksaan akhir, posisimu tidak juga turun. Masih nongkrong dengan bandelnya di bagian atas perut Umi, padahal usia kandungan sudah delapan bulan lebih. Dan sering membuat Umi sesak napas. Pak dokter mulai curiga, tapi pemeriksaan tidak menunjukkan dirimu sungsang. Pak dokter bilang, aman, ga apa-apa. Tapi Umi menangkap kekuatiran dari kalimat yang meluncur dari bibirnya.
Juga, Umi takut, Nak. Umi takut sekali karena belum beroleh ampunan dari Mami dan Abuchik. Hiks. Kebayang di mata Umi, jika Umi harus meninggal dunia saat melahirkanmu, maka pintu neraka akan terbuka lebar sambut kehadiran Umi, karena ampunan dari Mami dan Abuchik belum Umi peroleh. Sungguh, pemikiran ini semakin membuat Umi resah dan jadi pendiam. Dan hal ini, juga membuat dirimu jadi semakin diam, tak banyak bergerak seperti biasa. Umi tau, kamu sedang ikut merasakan kesedihan Umi. Kamu memang mitra sejati Umi, bahkan sejak kamu masih janin, sayang!
Benar saja, Nak. Tiga malam kita di ruang partus, jalan keluar tak berhasil kamu tembus! Bukaan Umi tetap bertahan di bukaan satu hingga malam ketiga kita di ruang itu. Sementara pasien di ranjang kiri dan kanan Umi, silih berganti, melahirkan dengan sukses. Sementara Umi, hanya bisa merintih kesakitan oleh derita kontraksi yang tiada henti. Ayah tak kalah stress oleh rintihan Umi yang memang cengeng, hehe. Dokter dan para bidan, bahkan sudah menyarankan agar Umi menelefon Mami dan Abuchik untuk mohonkan ampunannya, karena bisa jadi, kamu tak mau keluar dari rahim Umi sebelum diterima oleh Mami dan Abuchik.
Tapi Umi, sungguh tak berani menuruti saran itu. Umi masih trauma karena telefon Umi pernah ditolak dan Umi dikecam oleh Abuchik. Bahkan beliau pernah bilang bahwa Umi sudah lama meninggal dunia. Hiks. Umi ga berani lagi menghubungi, Umi pasrah. Akhirnya Pak dokter jugalah yang mengirimkan Umi untuk CT scan. Untuk melihat ukuran tulang panggul Umi, yang ternyata memang sempit. Pantes saja ga bisa buka jalan. Akhirnya, malam itu juga Umi dirujuk untuk menjalani operasi caesar.
Dan...,
Welcome to the world, Nak! My diamond, my Sunshine! :)
You are so cute and amazing! Inilah dia mitra sejati, yang selama ini bersemayam di dalam rahim Umi.
Menatapmu, saat Umi terjaga [siuman], adalah kenangan terindah yang masih melekat di memory Umi hingga kini dan nanti. Kamu begitu cantik! Terpanjang dan terbesar dari 15 bayi yang lahir dalam hari yang berturutan. 52 centi panjang dan berat, 3,8 kg. Pantesan saja tak mampu menembus pintu keluar dari rahim Umi yang tulang panggulnya memang sempit. Hehe. Ayah tak kalah bahagianya. Kami berdua resmi mendapat gelar baru. Ayah dan Umi. Wow! Alhamdulillah.
Sebelas hari kita di rumah sakit, karena masa penyembuhan Umi sedikit lambat. Namun, kehadiranmu di alam nyata ini, sungguh mencerahkan hati Umi, Nak. Rasa sakit itu, tak ada artinya sama sekali, setiap Umi menatapmu. Setiap kelima jemari kecilmu genggam jari Umi saat engkau menyusu. Setiap matamu yang masih belum jelas itu, tertuju pada mata Umi. Kita berbicara dalam bahasa cinta, bahasa universal kehidupan, melalui sentuhan penuh kasih sayang nan tak berbatas!
Tak pernah mengurus adik, tak pernah mengurus bayi, tak membuat Umi berkecil hati. Umi belajar untuk bisa mengurusmu dengan baik. Walau sering gagal! Hehe. Umi sering salah terjemah arti tangisanmu, Umi kira haus hingga Umi sodorin ASI, padahal yang bener, popok mu sudah penuh oleh urine dan kamu pun masuk angin! Maafkan Umi dan ayah, ya sayang, karena harus banyak bereksperimen dalam mengasuhmu. Tak ada yang mengajari kami tentang hal ini, hingga sering sekali kami seperti melakukan trial and error terhadapmu, sayang. Untungnya, Umi banyak membaca, sehingga trial and error pun tak sekedar uji coba belaka, tapi lebih didasarkan kepada teori dan logika yang akurat, barulah melakukan trial and error untuk pengujian dan penerapannya. Anyway, Umi dan ayah melakukannya dengan penuh cinta dan tanggung jawab kok, sayang. Suer deh! J
Kamu masih ingat ga, sayang? Setiap hari kita berdua menempuh perjalanan panjang - pulang pergi - ke dan dari kantor Umi. Ya, kamu ikut Umi, bukan, bukan untuk bekerja lah, Nak, tapi agar kamu bisa tetap mendapatkan ASI exclusive. Kamu sengaja Umi titipkan di rumah kolega Umi, yang rumahnya berdekatan dengan kantor Umi, dan diasuh oleh istrinya. Sehingga setiap jam menyusui, Umi bisa 'lari' menyusuimu. Kita kompak sekali ya, Nak! :D
Paska masa ASI exclusive, barulah kamu Umi tinggalkan di rumah, di asuh oleh si mbak yang ternyata hanya berpura-pura manis di depan Umi saja. Ternyata di belakang Umi, dia membentakmu, memarahimu, dan bahkan memaksamu makan dengan kasar! Keterlaluan! Untunglah tetangga kita melaporkannya pada Umi, sehingga Umi mengintainya, dan menangkap basah dirinya sedang mengasarimu. Pantes saja jiwamu menjadi begitu rapuh, penakut dan cengeng, sayang. Ternyata tertekan oleh perlakuan si mbak yang tak berperikemanusiaan ini. Hari itu juga si mbak Umi pulangkan ke kampung halamannya, tanpa jeda. Umi tak memarahinya memang, tapi Umi yakin, kata-kata tajam Umi sudah cukup untuk memberinya pelajaran dan pembelajaran. Maafkan Umi yang terlambat membebaskanmu dari 'siksaan'nya ya, Nak.
Waktu berlalu dengan cepat, dan engkau tumbuh sempurna di bawah penjagaan dan asuhan 'nenek gayo', saat Umi harus meninggalkanmu untuk bekerja. Kamu tumbuh menjadi anak yang periang, dan aktif. Umi dan ayah sungguh bahagia menyaksikan pertumbuhanmu yang maju pesat. Kamu tumbuh menjadi anak yang cerdas, baik budi dan penurut, pemurah pula. Ingat tidak, Nak, bagaimana pemurahnya hatimu, hingga begitu sering mendonasikan buah atau makanan yang ada di kulkas untuk semua teman-temanmu? Hingga Umi sering kecele saat pulang kerja dan berharap duduk santai sambil menikmati buah-buahan yang dingin dan manis? Haha. Ternyata, hanya wadah kosong yang sambut Umi saat kulkas Umi buka. Ih, kamu itu ya, Nak! Masak Umi ga disisain! Curaaaaang!
Kamu juga mengajarkan Umi bagaimana harus bertanggung jawab sebagai konsekuensi dari sebuah kejadian. Walau kejadian itu bukanlah Umi yang lakukan, melainkan kamu! Ya, saat itu, kamu menggunting rambut anak tetangga kita, sampai cobel-cobel, ingat? Hihi. Umi sampai pucat setengah mati menyaksikan rambut temanmu itu yang sudah amburadul. Ngeri membayangkan betapa akan marah dan ngamuknya ibu si temanmu itu, Nak. Hadeuh, Nak, kok bisa-bisanya sih kamu letakkan Umi pada posisi sulit seperti ini? Umi bisa didamprat ibu temanmu itu deh.
Dan, kejadian itu, mau tak mau, melatih Umi untuk semakin bersikap bijak, untuk bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengasuhan/kepemimpinan Umi. Ya, Umi harus bertanggung jawab untuk apa yang telah kamu lakukan! Maka, Umi menggendong temanmu dan menuntunmu. Kita menuju rumah temanmu itu, yang adalah tetangga sebelah kita. Umi mencoba bicara sebaik-baiknya dengan ibu temanmu itu, yang nyaris pingsan melihat ke-amburadul-an yang engkau ciptakan di kepala anaknya itu, mana besoknya mau lebaran pula. Untunglah, cara Umi 'bernegosiasi' mampu meredakan amarah si ibu, walau tentu saja dia kesal padamu, terlihat dari matanya yang menatap tak suka padamu. Hehe. Tapi Alhamdulillah, hari itu, engkau mengajari Umi untuk lebih bertanggung jawab, untuk lebih menjagamu agar tak berbuat sesukamu. :)
Tak hanya itu, satu momen yang hingga kini masih terukir indah di ingatan Umi adalah, tentang pengertianmu yang sungguh besar. Sungguh Allah memberkahimu pengertian yang luar biasa, Nak. bahkan di usiamu yang masih balita, bahkan belum duduk di TK. Ya, saat itu kita sedang main ke sebuah mal. Dan kamu sangat tertarik dengan sebuah baju cantik berwarna biru. Umi tau bahwa kamu sangat menginginkannya, namun Umi belum punya cukup dana untuk membelikannya. Umi coba raih pengertianmu, dengan memancing pendapat darimu, dari anak balita Umi.
"Nak, Anak Umi pengin baju itu?" dan kamu mengangguk kuat. Hati Umi teriris. Binar matamu pasti akan redup oleh kalimat Umi selanjutnya. Hiks.
"Nak, bisa sih kita beli baju itu, tapi kita harus pulang jalan kaki, karena uang kita ga cukup untuk beli baju dan bayar ongkos angkot. Gimana? Sebaiknya kita beli baju ini, lalu kita pulang jalan kaki, atau kita beli bajunya nanti, waktu Umi gajian, dan kita bisa pulang naik angkot sekarang?"
Sebuah kalimat panjang yang tentunya membuatmu bingung kan? Tapi kamu malah terlihat berfikir. Umi menanti dengan rasa penasaran. Penasaran dengan analisa pikiranmu. Lalu jawabmu,
"Umi belum punya duit? Kalo beli bajunya cekalang, kita pulangnya halus jalan kaki ya, Mi? Pasti kita capek lah jadinya? Tapi Mi, kalo tunggu gajian, nanti bajunya ga ada lagi, udah dibeli olang!"
Jawabmu dengan nada celat-mu yang menggemaskan. Nak, taukah kamu? Umi sungguh takjub, terharu dan sedih, lalu Umi jawab,
"Sayang, Umi janji, begitu Umi gajian, kita kesini lagi, beli baju ini. Tapi kalo baju ini ga ada lagi, pasti akan ada lagi baju lain yang lebih cantik dari baju ini. Percaya lah, Nak, pasti akan ada baju biru lain yang lebih keren. Tapi terserah Anak Umi sih, kalo memang ingin kita beli sekarang, ya sudah, kita beli sekarang aja, tapinya, kita pulang jalan kaki. Harus kuat, gimana, Nak?"
Terlihat kamu diam sejenak, menatap dan memegang baju itu. Hati Umi terenyuh, teringat akan Umi sendiri, yang selalu mendapatkan apa pun yang Umi inginkan, saat masih tinggal bersama Mami dan Abuchik, dahulu. Sementara giliranmu? Umi tak sanggup mewujudkannya. Hiks.
"Mi, kalo gitu, kita beli bajunya nanti waktu Umi gajian aja lah, Mi. Biar cekalang kita bica pulang naik angkot. Tapi Umi janji ya, Mi."
Masyaallah, Umi begitu takjub, terharu dan menangis dalam hati. Pengertianmu sungguh luar biasa, Nak. Umi peluk dirimu kala itu, menyembunyikan air mata yang langsung menggenangi bola mata Umi. Batin Umi teriris, saat itu juga Umi berjanji, untuk bekerja lebih keras, lebih giat, agar bisa penuhi segala keinginanmu kelak, Nak.
Waktu terus berlalu, tahun terus berganti, maaf dari Mami dan Abuchik tak juga kunjung menghampiri. Umi semakin sedih, karena tanyamu yang tak pernah bisa Umi jawab dengan pasti. Ya, tentang kapan kita akan ke Aceh, menjenguk Mami dan Abuchik. Sungguh, Nak, Umi sungguh tak punya gambaran dan jawaban pasti untuk itu. Selalu saja Umi katakan, "nanti, sayang, kalo Aceh sudah aman dari konflik."
Dan ternyata sayang, benarkan kata Umi? Kata adalah doa. Aceh redam dari konflik, setelah disapu oleh gelombang besar bernama tsunami. Ya! Gelombang maut penyumbang duka lara ini, ternyata justru menjadi kunci pembuka pintu maaf Mami dan Abuchik bagi Umi. Dibalik musibah memang selalu ada hikmah. Dan itulah hikmah terindah yang Allah berikan kepada kita, walau harus ditebus dengan pengorbanan maha besar oleh orang-orang lainnya. Hiks. Sebagian orang kehilangan orang-orang terkasih, namun kita diberi kesempatan oleh Allah untuk kembali bertemu dan bergabung dengan orang-orang terkasih. Itulah, Nak, rahasia Allah, tak ada yang bisa mengungkap dengan pasti kan?
Alhamdulillah, akhirnya harapan Umi untuk mempertemukanmu dengan Mami dan Abuchik tercapai juga, Nak. Kita dirangkul kembali oleh Mami dan Abuchik, serta ketiga Oom-mu [adik-adik Umi]. Yeay!!! Dan, lagi lagi Umi harus katakan padamu, Nak, bahwa restu orang tua itu sangat berkah. Lihat? Rezeki kita mengalir deras begitu pintu maaf itu terbuka luas. Umi mendapatkan tawaran kerja di lembaga international, dengan gaji yang melimpah, dalam rate dolar, walau tetap terimanya dalam rupiah. Subhanallah. Nikmat mana lagi yang harus kita dustakan, sayang? See, berkah Allah senantiasa berbanding lurus dengan restu Ayah Bunda.
Kehidupan memang mengajarkan kita banyak hal ya, Nak? Kehidupan juga menghadapkan kita pada beberapa pilihan yang harus kita pilih dan tentukan dengan smart. Seperti pilihan untuk menitipkanmu pada Budhe [kakak ayahmu] di Medan untuk sementara waktu. Umi dan Ayah mempertimbangkan banyak hal, Nak, sebelum melakukannya. Bukan, bukan karena kami tak peduli padamu, justru karena kami sangat ingin mempersiapkan masa depan cemerlang dan berkecukupan untukmu lah, makanya kami memutuskan demikian. Umi melihat peluang emas di Aceh, yang mengharuskan Umi dan Ayah berpisah sementara waktu denganmu. Umi dan Ayah ingin fokus mengumpulkan rupiah, yang cukup dan berlimpah dengan satu tujuan. Untuk mempersiapkan diri dalam mengantarkanmu raih masa depan cemerlang. Dan kamu lihat sendiri kan sayang? Umi tepati janji, Umi segera menjemputmu kembali, begitu masanya tiba. See? I always try to keep my promises.
Intan Faradila, My lovely Diamond.
Memasuki topik ini, selalu saja menggores hati dan menimbulkan rasa bersalah tersendiri di hati Umi. Perpisahan Umi dan Ayah. Umi tahu pasti, ada goresan luka di hatimu, menghadapi kenyataan ini, Nak. Walau pun wajahmu berusaha tersenyum, tunjukkan that you are ok with that, tapi Umi yakin, nun jauh di lubuk hatimu, ada duka yang tak terucap. Apa pun itu, tentu kamu berharap tiada perpisahan di antara kami. Tapi maafkan Umi, Nak, karena harapan itu, tak mungkin terwujud. :(
Anakku, Umi sungguh salut akan pengertianmu. Di balik hati yang teriris, kamu masih berusaha untuk dampingi Umi. Untuk support Umi dan berikan Umi semangat lanjutkan kehidupan kita berdua. Sungguh, Umi sungguh beruntung memilikimu. Yang begitu mudah memaafkan Umi, yang telah putuskan untuk tinggalkan Ayah. Yang juga telah memutuskan untuk membawamu bersama Umi dan membuatmu tak lagi serumah dengan Ayah. Nak, trimakasih atas seluruh pengertian dan pemahamanmu, ya, Nak. Sungguh, tak banyak anak-anak yang sebijak kamu, tak banyak anak-anak yang sepengertian dirimu. I do proud of you, Nak!
Permata Hatiku, Sahabat Kehidupanku,
Sang waktu terus berputar namun kita tak boleh gusar. Hidup harus terus mengalir bagai roda kehidupan yang terus bergulir. Nak, banyak hal yang telah kita lalui dan pelajari bersama. Merajut angan dan asa dalam doa dan usaha. Berdua. Ya, banyak hal yang kita lakukan berdua. Tentu sesuai dengan porsi dan tugas kita masing-masing. Tugas Umi adalah mencari nafkah dan tugasmu adalah bersekolah. Tentu, hingga kini kita sepakat akan itu kan? J Namun, kedewasaan pemikiranmu yang kian terasah, keinginanmu untuk mampu berdikari tak lagi mampu dicegah. Umi tak akan melarang apalagi menghentikan langkahmu sayang. Umi akan terus mendukungmu dan menyemangatimu, untuk mampu beradaptasi dengan kerasnya kehidupan ini. Umi akan mengajarimu agar mampu flleksibel dalam menyikapi setiap model putaran roda kehidupan.
Jika pun Umi tak pernah melarangmu untuk belajar berbisnis, bukan berarti Umi tak sayang lagi padamu dan Umi lelah mencari nafkah. Bukan, sayang. Umi membiarkan dan mendukungmu lakukan itu, adalah untuk mendidikmu dan membuatmu paham akan kerasnya persaingan kehidupan. Satu pelajaran yang Umi ingin kamu camkan adalah bahwa kesuksesan itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus direncanakan, dijalankan, dicermati dan dipetik hasilnya. [Plan, Implement, Evaluate, and Reach the Goal]. Tapiiiii, walau Umi terlihat mendukung segala aktivitas bisnismu, satu hal yang tak boleh kamu lupakan, sayang, BELAJAR, tugasmu adalah BELAJAR, karena itu adalah modal utamamu untuk melangkah lebih lanjut gapai cita-cita. Deal? J
Permata Hatiku - Belahan Jiwa,
Sedih rasanya tinggal terpisah darimu. Apalagi selama ini kita selalu tinggal seatap, walau sering Umi tugas keluar kota, tapi kita selalu akan kembali dan kembali berkumpul bersama. Namun, Nak, kita harus mampu berdamai dengan situasi dan tak boleh marah dengannya. Karena tak guna melawan arus, yang ada adalah lelah sendiri kan? Jadi, mari kita berdamai dengan situasi dan kondisi, dimana saat ini kita harus tinggal terpisah untuk sementara waktu. Sebenarnya Umi udah pengen banget ajak kamu pindah ke Bandung, tinggal bersama, tapi memang bener pemikiranmu, nak. Tanggung, setahun lagi kamu akan tamat SMU. Dan Umi paham betapa berartinya ijazah dari SMU Labschool bagimu, Nak. So, I left it to you. Umi tak akan memaksamu pindah, apalagi tinggal bersama Mami dan Abuchik adalah jaminan keselamatan dan kenyamanan bagimu. Umi tak perlu risau deh jadinya. Tapi jadinya Umi iri lho, kamu bisa setiap hari makan masakan Mami yang lezat dan nikmat, sementara Umi cuma makan dari warung sebelah. Hehe.
Intan Faradila, my Diamond
Surat ini terlihat panjang, mengcover perjalanan panjang dengan begitu banyak hal yang telah kita alami bersama. Kamu tak hanya putri Umi, tapi juga sahabat dan cahaya hati Umi sepanjang masa. Berdua kita berbagi duka, berdua kita merasakan bahagia. Berdua kita tertawa, berdua pula kita berurai air mata. Umi sungguh bersyukur kepada Allah atas anugerahNya. Beroleh seorang putri cantik yang cerdas dan penuh pengertian, pemaaf serta baik budi pekertinya. Rasanya tak cukup untaian kata yang mampu Umi rangkai, untuk wujudkan betapa Umi bangga dan bahagia milikimu, Nak. Tetaplah jadi sahabat dan putri Umi yang bijak, yang penuh welas asih terhadap sesama, dan tunjukkan pada Mami dan Abuchik, bahwa Anak Umi adalah cucu yang bertabiat mulia dan patut dibanggakan. Oke sayang?
Oya, tentang pertanyaanmu, yang sekali-sekali suka timbul dan mengusik kenyamanan hati Umi, tentang menyesalkah Umi pernah menikah dengan Ayah dan memilikimu? Ingin Umi jawab pada penutup surat ini to ensure that the question is closed, ok?
Jawaban Umi begini; Aduh, Nak! Berapa kali Umi harus tegaskan, bahwa Umi bukanlah termasuk orang yang suka meratapi dan menyesali masa lalu. Bagi Umi, pernah menikah dengan ayahmu, adalah kenyataan dan telah menjadi masa lalu. Tak guna disesali apalagi diratapi. Umi pernah bahagia bersamanya dan biarkan kenangan indah itu menjadi bagian dari lembaran kehidupan Umi.
Memilikimu adalah anugerah terindah. Bagaimana mungkin Umi merasa menyesal memilikimu, Nak, sementara setiap saat Umi panjatkan puji syukur kepada Ilahi karena menganugerahkanmu untuk Umi? You are my treasure, my diamond, my sunshine! Semoga jawaban ini dapat menghentikan berulangnya lagi pertanyaan di atas ya, Nak. :)
I do love you, So Much! So much! So Much!
Times is running so fast,
It's like a dream to see you' re grown up,
and will make your own decisions,
I will try to respect of that fact, but the thing you must understand
that to me, you will always be my
little girl.
I may not be able to carry you in my arms anymore,
but I will always carry you in my heart.
Side by side, or miles a part,
We are mom and daughter,
Connected by the heart.
Teruntuk Mak Indah Juli, trimakasih untuk tugas yang telah membuatku menuntaskan surat terpendam yang lama terlantar di draft of my folder. Semoga catatan hati ini, menjadi pengingat bagiku, untuk selalu berusaha menjadi ibu terbaik bagi mutiara jiwa, harta karun anugerah sang Kuasa. Aamiin.
Selanjutnya, sesuai permintaan dan peraturan dari #DearDaughter project ini, maka tugas menulis selanjutnya aku estafetkan kepada seorang sahabat yang berdomisili di Madiun. Siapa dia? Pasti banyak yang mengenalnya deh. Beliau adalah ibu dari putri cantik bernama Shasa. Yup, yuk kita tunggu postingan #DearDaughter dari
Mba Reni Judhanto, Deadline Senin, 9 September 2013, pukul 8.00 Wib. Monggo yo, Mbakyu. :)
Surat terbuka untuk ananda,
Al, Bandung, 7 September 2013