Senin, 18 Mei 2009

Yang Penting Nikmatnya, Bukan Gayanya

Aktivitas seks punya banyak sisi. Ada sisi prokreasi, rekreasi, relasi, bahkan religi. Karena punya banyak dimensi, kegiatan seks juga bisa dinikmati. Jika dipandang dari dua sisi sekaligus, rekreasi dan relasi, kegiatan seks tidak hanya bisa memberikan kenikmatan biologis, tapi juga kenikmatan psikis, bahkan spiritual. Tulisan menarik ini ditulis oleh M. Solehkhudin dalam rangkaian article Majalah mungil “Intisari edisi khusus Healthy Sexual Life”. Yuk kita simak lanjutannya….
Dalam sebuah guyonan, seks seperti slogan iklan sebuah merek sepatu olahraga, ‘Just do it!” Lakukan saja, tak usah banyak berteori. Tentang cara dan gayanya, ikuti saja slogan iklan sebuah produk deodorant, “Sentuhan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda”. Urusan tentang kapan dan di mana dilakukan, seks juga bisa disamakan dengan slogan sebuah produk minuman bersoda “Kapan saja, dimana saja.”
Menurut guyonan-guyonan di atas, seks akan membimbing pelakunya menjadi lebih kreatif dalam semua hal, termasuk dalam gaya bercinta. Sekalipun urusan seks hanya berkisar pada alat kelamin, kitas mengenal aneka macam gaya bercinta. Bukan hanya posisi ‘standard’ missal woman on top (perempuan di atas), posisi miring, gaya monyet memanjat pohon kelapa, doggy style (Penetrasi dari belakang), dan entah apa lagi..
Bahkan, variasi gaya bercinta zaman seakarang tidak berhenti pada sebatas kontrak antara dua kelamin saja. Kini masyarakat juga mengenal seks oral bahkan anal. Semua itu membuktikan bahwa kegiatan seks memang bisa membuat pelakunya kreatif mengembangkan aneka gaya dan variasi posisi.
Bisa dikatakan, saat ini bagian besar orang menerima anaeka gaya bercinta di atas sebagai sebuah kewajaran. Asalkan dilakukan dnegan istri atau suatu sendiri, semua gaya sah-sah saja, tak perlu merasa bersalah jika melakukannya. Setidaknya fakta ini bisa kita lihat dari media massa. “ Kata seorang ibu tanpa malu-malu di sebuah koran online. “Kalau mau mencoba seks di dalam mobil, pakai doggy style aja,” kata seorang anggota forum diskusi kepada anggota lain yang sedang meminta saran.
Pendek kata, urusan gaya bercinta, seks masyarakat zaman sekarang sudah mencapai ‘puncak kreativitas’ yang bagi sebagian orang mungkin masih dianggap tabu. Ini juga sisi lain dari pandangan masyarakat terhadap seks. Namun, tidak semua orang bisa menerima aneka gaya di atas ranjang itu sebagai sebuah kewajaran, sekalipun dilakukan dengan istri atau suami sendiri.
“Saya tidak bisa membayangkan melakukan hubungan seks dengan menyuruh istri saya nungging seperti di film-film porno,” kata Ari, seorang suami yang tak malu mengaku konservatif dalam urusan seks.
Kebetulan istrinya juga punya pandangan yang sama dalam hal seks. Sama-sama konservatif, ia menganggap aneka posisi yang ditampilkan di film-film porno itu sebagai gaya yang terlalu neko-neko. Ia merasa cukup hanya dengan gaya standard, laki-laki di atas perempuan. “Gitu aja sudah enaknya bukan main, kok neko-neko,” katanya sembari tersenyum. Kalaupun melakukan variasi, hanya terbatas pada gaya tukar posisi; perempuan di atas laki-laki. Itu saja. Itu pun tidak sering dilakukan, hanya kalau merasa cara itu lebih nyaman.

Nikmat Lahir Batin.
Ia tidak menolak anggapan seks sebagai bentuk mencari kepuasan biologis. “Saya juga mencari kenikmatan dari hubungan seks. Hanya saja, kenikmatan seks bagi saya itu bukan semata-mata kenikmatan biologis, tapi juga kenikmatan apa ya namanya?” katanya malah bertanya. “Pokoknya, kenikmatan lahir dan batinlah,” tiba-tiba saja ia melanjutkan tanpa menunggu jawaban.
Menurut dia, sah-sah saja suami istri melakukan aneka hubungan seks degnan berbagai gaya.
“Mau berdiri, nungging, jumpalitan, terserah,” ujarnya enteng. Meski begitu, ia menganggap hubungan seks yang dilakukan semata-mata karena nafsu biologis biasanya kurang member tempat bagi pemenuhan kebutuhan psikis. Menuru dia, kebiasaan berhubugnan seks yang semata-mata karena nafsu biologis akan menyebabkan hubugnan suami istri menjadi mudah renggang ketika salah satu dari pasangan tidak lagi menarik seara seksual. Hal ini, kata dia, terutama harus diwaspadai oleh pihak laki-laki. “Laki-laki kan hot terus, bergairah terus, sementara perempuan itu makin tua makin berkurang daya tarik seksualnya,” katanya berteori.
Pada saat fisik perempuan tidak lagi menggairahkan secara seksual, hubungan badan akan hambar karena laki-laki sudah terbiasa semata-mata memanjakan nafsu biologisnya. “Padahal ikatan suami istri itu ‘kan ikatan seumur hidup. Kita harus bersedia menerima bagaimanapun kondisi pasangan sampai tua,” lanjutnya.
Itu sebabnya, menurutnya, suami istri lebih baik membiasakan diri menikmati seks bukan semata-mata sebgai urusan biologis, tapi juga melibatkan hubungan emosional. “Saya termasuk orang yang percaya hubungan seks semacam ini bisa dilakukan. Saya kira pleasure lahir batin itu kualitasnya setingkat lebih tinggi daripada pleasure lahir saja,’ katanya.
Agar kepuasan lahir batin itu diperoleh, Ari memperlakukan kegiatan seks sebagai gabungan antara nafsu biologis dan bentuk kasih saying. Jikda sedang berhasrat, ia akan mengajak istrinya dengan cara seperti seseorang yang sedang minta izin. Ia memahami kalau saat itu istrinya sedang tidak mood untuk berhubungan badan. Ia tidak sependapat dengan pandangan bahwa istri selalu harus menuruti apa saja kemauan suaminya di atas ranjang, sekalipun ia tidak suka. “Kalau suami memaksa, itukan namanya bukan kasih sayang,” katanya.
Ia sudah mulai menerapkan cara pandang ini sejak awal menikah. Pada saat malam pertama ia mengaku tidak langsung melakukan hubungan badan karena ia tau istrinya belum siap. “Malam-malam pertama, kami tidur dengan ‘pakaian sipil’ lengkap,” selorohnya. Ia bersedia menahan diri sekalipun pada saat itu ia mengaku nafsunya sudah sampai di ubun-ubun. Yang mereka lakukan adalah ngobrol dulu, menyamakan persepsi tentang seks.
“Setelah kami sama-sama menyamakan ‘gelombang’, barulah kami….,” katanya sambil menganggukkan kepala tanpa melanjutkan kalimatnya yang belum selesai.
Tiap kali melakukan hubungan seks, mereka tidak pernah lupa membaca doa lebih dulu. “Kalau mau makan, saya biasanya lupa membaca doa, tpi utnuk urusan yang satu ini, saya tidak pernah lupa berdoa,” kanya sembari terkekeh-kekeh. Cara seperti itu menurutnya bisa membuat mereka berdua menikmati hubungan seks sebagai bentuk kasih saying.
“Di dalam ajaran agama, hubugnan seks suami istri itu ‘kan termasuk ibadah,” lanjutnya. Bagi dia, seks itu tidak bisa dipisahkan antara urusan rekreasi, relasi, bahkan religi.
Dua aspek terakhir, relasi dan religi, menurutnya hamper tidak mungkin diikutsertakan jika hubungan seks dilakukan dengan gaya neko-neko. “Saya tidak menganggap itu buruk. Ini hanya perkara selera’” ucapnya
Karena cara pandangnya ini, cara mereka mengukur kepuasan seksual pun berbeda dengan cara kebanyakan orang. “Saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tapi saya kira banyak kok perempuan yang menikmati hubungan seks dalam bentuk disayang-sayang, dibelai-belai, dipeluk, dicium, tidak harus dibuat orgasme,” katanya. Karena pandangan seperti ini, mereka berdua tidak mempermasalahkan ejakulasi dini, misalnya. “Kalau Cuma urusan nyium, mbelai, sama meluk ‘kan tidak harus dalam keadaan ereksi, ha..ha..ha…. Tang penting kan sama-sama senang. Gitu aja kok repot,” katanya sambil ketawa.

REVOLUSI SEKS
Bagi sebagian orang, pandangan Ari di atas mungkin dianggap terlalu kolot. Terlalu puritan. Apa pun sebutannya, yang jelas Ari tidak seorang diri. Masih bnayak orang yang memandang urusan seks secara konservatif – jika istilah ini tepat. Golongan ini terutama diwakili oleh mereka yang masih berusaha berpegang pada nilai-nilai tradisional, terutama agama.
Bahkan, menurut dr. Andik Wijaya, M.Rep.Med, ahli kedokteran reproduksi dari Yad Institute dan Draw Clinic, Surabaya, pandangan konservatif semacam ini merupakanpilihan baik dlam kaitannya dengan kehidupan berumah tangga . Ia menyebut pandangan ini dengan istilah “prilaku seks yang sesuai dalam desain awalnya.” Desain awal? Seks punya desain awal? Andik menjawab tegas. “Punya!”
Dalam konteks hubungan pria-wanita, desain awal seks adalah ikatan dua orang dalam institusi perkawinana heteroseks monogami. Dalam konteks gaya bercinta, desain awal seks adalah kontak dua alat kelamin laki-laki dan perempuan dalam posisi face to face.
Itu tak lain karena secara anatomis, posisi alat kelamin manusia berbeda dengan hewan mamalia lainnya. Pda hewan, alat kelamin mereka sedemikian rupa sehingga kalau melakukan kontak seksual, pejantan harus melakukan penetrasi dari belakang. Bukan face to face.
Ini berbeda dengan manusia. Alat kelaminnya terletak di bagian depan tubuh. Sehingga, kalau melakukan hubungan seksual, posisi yang paling sesuai adalah berhadap-hadapan. Perkara sekarang mawyarakat mengenal aneka macam gaya bercinta, kata Andik, itu disebabkan oleh pengaruh film-film porno. “Dalam sejarahnya, perilaku seksual manusia seperti ini tidak terjadi begitu saja. Semua bermula dari revolusi seks yang terjadi pada tahun 1948,” katanya.




Memaknai Rekreasi

Memberi makna hubungan seksual sebagai kegiatan rekreatif memang harus mengubah pola pikir. Seks tidak lagi ditempatkan sebagai kewajiban semata, namun harus menjadi kebutuhan yang hakiki pada setiap pasangan yang sudah menikah. Dan ketika hal itu sudah menjadi kebutuhan, maka segala upaya pun akan dikerahkan demi tercapainya tujuan itu.

Gatot, sebut saja begitu, memilih menikah saat kuliah. Ia pun tak menunda memiliki anak. Nah, ketika kariernya mulai mapan, ia bisa meledek teman-temannya yang masih dipusingkan dengan ulah anak-anak mereka.

“Kita mah sekarang tinggal senang-senangnya saja. Mau gaya apa saja dan berapa kali sehari tidak masalah,” begitu jawabnya saat ditanya soal kehidupan seksual mereka. Dimensi hubungan seksual mereka memang sudah masuk dalam tahap rekreasi – bersenang-senang.

Akan tetapi Gatot bukannya tanpa persoalan. Layaknya sebuah rekreasi, terkadang ia bosan dengan tempat yang itu-itu melulu. Pun dengan orang yang itu-itu juga. Beruntung ia punya banyak ‘bekal’ agar rekreasinya tidak membosankan. Istrinya pun ternyata menjadi mitra perjalanan yang penuh kejutan.

Banyak dari teman Gatot yang terperosok ketika memasuki dimensi rekreasi hubungan seksual ini. Komunikasi seksual yang tidak jalan, istri yang tidak mau neko-neko, sampai ke percekcokan karena salah satu dari pasangan itu melakkukan selingkuh. Tidak mudah mereka yang terperosok ini keluar dari lubang persoalannya. Tak jarang justru perempuan yang sudah menjadi korban selingkuhan suami harus rela berkorban lagi untuk memulai ‘rekreasi’ itu.

Sekali lagi, member makna hubungan seksual sebagai kegiatan rekreasi memang harus mengubah pola pikir. Seks tidak lagi ditempatkan sebagai kewajiban semata, namun harus menjadi kebutuhan yang hakiki pada setiap pasangan yang sudah menikah. Kala seks sudah menjadi kebutuhan, amka segala upaya pun akan dikerahkan demi tercapainya tujuan itu.


Featured Post

Ayam Tangkap Khas Aceh ala So Good

Yuhuu, akhirnya, Ayam Tangkap Khas Aceh ala So Good siap dihidangkan! Bagi yang sering main ke Aceh, khususnya Banda Aceh, pasti sudah fa...

Popular Posts